Pages

Kamis, 19 September 2013

Kita, aku, dan sebuah kenyamanan.

Sebuah percakapan singkat antara aku dan dia tentang sebuah kekhawatiran. Bisa dibilang, (mungkin) hanya kekhawatiran ku.
Sejak beberapa saat yang lalu (mungkin belum sampai satu bulan ketika aku menulis ini) kami memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri. Terlihat bodoh memang, dua orang yang telah menjalin hubungan sekian lama, bertahan mati-matian melawan jarak dan waktu, berperang menahlukan ego masing-masing, namun kini melepaskan genggaman satu sama lain dan berjalan sendiri-sendiri meski hati masih satu.
Tidak pernah terfikir akan adanya sebuah keputusan seperti ini. Melawan hati, hanya untuk menghindar hal yang tak diinginkan di masa depan, hanya untuk mencegah hati yg terkoyak lebar nantinya.
Masih seperti tak percaya, semuanya 'selesai'. Salah satu faktor yg membuat hal ini terjadi adalah orang tua. Ibu ku terlalu menginginkan seseorang yg berprofesi sama, hal itu selalu ia ulangi berkali-kali didepan ku. Sementara aku? Aku lebih menginginkan berbeda profesi. Aku menginginkan dunia yg berbeda dari dunia ku, aku menginginkan adanya percampuran warna yg berbeda dalam obrolan kami dalam hidup kami. Ya... orang tua terlalu egois, terlebih lagi aku anak perempuan satu-satunya. Lalu apa yg bisa aku perbuat?
Selain hal tersebut, ada hal-hal lain yg membuat kami berjalan menggenggam tangan sendiri. Tidak bisa ku sebutkan hal-hal tersebut. Kami hanya ingin satu sama lain bahagia dan tidak ada yg tersakiti. Tapi semua ini berat.
Dan yang lebih berat lagi....
Aku bukan lah orang yang mudah merasa 'nyaman' terhadap orang lain. Aku lebih sering berpura-pura nyaman namun tetap saja aku tidak nyaman. Sejauh ini, 'tempat' yg membuat ku merasa nyaman adalah dia. Sejauh apapun jarak yg memisahkan, belum pernah aku merasa gelisah karena takut dia mencari 'aku' yg lain. Dia adalah 'rumah' tempat aku kembali, tempat aku mencari ketenangan.  Karena sebenarnya aku bukanlah orang yg tenang, aku mudah panik, aku manja, aku kekanak-kanakan, dan yang paling parah aku moody, namun selalu ada cara dia membuat ku tenang dan stabil.
Dia adalah salah satu dari sedikit orang yg bisa membuatku banyak mengeluarkan suara, yg bisa membuatku ngobrol ngawul ngidul tanpa harus berfikir keras topik apa yg harus aku bicarakan. Dia adalah pendengar yg baik, dan dia juga membebaskan ku untuk melakukan apa saja yg ku mau. Mengobrol dengannya adalah hal paling menyenangkan dan menenangkan :)
Aku yang tampak dari luar tidak sama dengan aku yg sebenarnya. Dan baru dia yg melihat sisi 'ke-aku-an-ku'. Tampak luar aku seperti seseorang yg pendiam, sinis,membosankan, tidak suka lelucon, jarang tertawa, dan terlalu serius. Hanya dia yg bisa mengeluarkan sisi asli ku. bahwa aku yg sebenarnya adalah kebalikan dari tampak luar ku.
Aku hanya seseorang yg tidak bisa mengekspresikan sesuatu, namun akan berlawanan ketika ku jumpai seseorang yg membuat ku 'nyaman'.
Aku mengatakan kepadanya. Bagaimana jika aku tidak bisa menemukan seseorang yg bisa membuat ku nyaman? Bagaimana bila suatu hari aku menjalin hubungan ternyata aku hanya berpura-pura nyaman?
Dan dia hanya berkata, aku harus bisa meyakinkan diri ku sendiri dan percaya bahwa aku pasti bisa menemukan seseorang yg akan membuat ku nyaman. Karena ketika aku percaya kepada diriku sendiri, jalan itu akan terbuka.
Apakah aku harus mempercayai itu?
Akan kah kutemukan 'rumah' ku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

di mohon comment nya >.< pasti isuta baca dan moderasi :) makasih banget lho :D