Aku bukan tipe orang yang pandai menulis, terlebih surat cinta dan ini untuk kota.
Bahkan sejujurnya kota yang begitu berkesan untuk ku pun aku tidak terlalu tahu. maaf saja, aku ini tipikal manusia yang cuek, kurang perasa dan bagaimana bisa sesuatu memberi kesan yang begitu mendalam pada ku?
ah, mari kita coba saja. entah bagaimana akhir dari surat ini nantinya.
Selamat membaca.
Belasan tahun yang lalu, sebuah kecelakaan tunggal menimpa aku dan keluarga ku. Aku masih gadis kecil saat itu, bahkan huruf pun aku tak kenal apa lagi harus menulis seperti ini. Aku hanya menangis terjepit di salah satu sisi mobil yang bersetubuh dengan tanah. Tuhan masih memberkati, jurang tak jadi menelan kami.
Begitulah perkenalan awal ku dengan sebuah kota yang bernama Muara Dua, sebuah kota terpencil di salah satu sudut Sumatera Selatan. Perjalanan untuk ke kota tersebut tidak lah muda, kau harus melewati jalanan berkelok dengan jurang terjal di sisinya, lalu melewati hutan belantara, naik turun bebukitan, hingga akhirnya kau bisa sampai di kota itu. Sebuah kota yang lebih mirip sebuah desa.
Medan terjal harus kau lewati untuk mencapai kota Muara Dua. Tetapi ketika kau sampai disana, semuanya akan terbayar plus dengan bonus nya. Pemandangan khas desa nan asri akan kau dapatkan disana. Udara sejuk yang selama ini langka di perkotaan besar bisa kau nikmati sepuasnya. Gericik aliran air sungai yang jernih bisa kau selami sesuka hati.
Kota itu menjadi memori pada masa lalu ku, kedatangan ku kesana adalah yang pertama dan terakhir kali. Ada beberapa faktor yang tak bisa membawa aku lagi kesana. Seberapa pun inginnya aku kembali menikmati kedamaian dan ketentraman suasana kota, memeluk hangatnya masyarakat disana ataupun bercengkrama dengan alamnya yang indah, semuanya tak akan bisa terulang dan terjadi lagi.
Mandi air sungai segar yang berasal dari aliran pegunungan, menunggangi kerbau yang sedang membajak sawah, menjala ikan dirawa-rawa, ikut berkebun dan langsung menikmati hasilnya, semua nya hanya akan tersimpan apik di dalam lobus frontal. Bahkan kejadiaan saat harus naik truck yang offroad karena hujan besar dan jalanan terjal berlumpur atau menggigil kedinginan karena suhu di malam hari berhasil menusuk hinggal ketulang, hanya akan menjadi memori.
Apa kabar kota kelahiran nenek buyut ku, saat ini?
Kabarnya kau telah berkembang pesat, bukan lagi kau yang dulu tak berarus listrik hingga di bintang di malam hari tak perlu bersembunyi.
Lama kita tak berjumpa, ku dengar udara mu telah hitam mengabu, tampaknya kau tak ingin kalah saing dengan perkotaan besar ya.
Dear Muara Dua,
Titip salam untuk nenek buyut ku yang berada dalam perut mu. Jaga ia baik-baik ya. Aku yang disini selalu mendoakan kalian meski aku tak punya lagi alasan untuk kembali kesana karena dia.
Kau akan terus berada disini, di lobus frontal.., sebagai kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
di mohon comment nya >.< pasti isuta baca dan moderasi :) makasih banget lho :D